Kamis, 04 April 2013, 2.13 AM

“IMPIAN” KITAB HUKUM PIDANA BARU

(Tulisan ini dipublish sebagai ungkapan terimakasih yang terdalam kepada seluruh Bapak/Ibu Dosen di Universitas Sumatera Utara. Semoga ilmu dan kebajikan yang telah diajarkan kepada kami, menjadi amal jariyah dan catatan amal sholeh bagi Bapak/Ibu Dosen. Amin yaa Robb.)

 

 Usaha untuk menuliskan hukum pidana pada masa kerajaan di Nusantara sebenarnya sudah lama dilakukan. Sekitar tahun 1000 Masehi, Raja Darmawangsa di Jawa Timur, memerintahkan penyusunan sebuah  Kitab  Undang-undang Hukum Cicawansa. Selanjutnya, pada masa Kerajaan Majapahit, sewaktu Gajah Mada menjabat sebagai  mahapatih (1331-1364 Masehi), ia telah membuat sebuah undang-undang yang lazim disebut Kitab Hukum Gajah Mada. Usaha ini dilanjutkan oleh Patih Kanaka dengan merancang hukum Adigama an Kitab Undang-Undang Hukum Kutaramanawa. Di kerajaan Banjar juga ada aturan hukum berupa Undang-Undang Sultan Adam (1825-1852), di kerajaan Bima juga dikenal adanya naskah hukum yang dibuat Sultan Abdul Kadim Zillullahi Fil Alam, di Bali juga ada aturan pidana adat, yakni Logika Sanggraha, Amandel Sanggama, Gamial Gamana, Salah Krama, Derati Krama, dan Wapurusia.

Dr. Saiful Bahri, pengajar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, dalam bukunya berjudul “Sejarah Pembaruan KUHP dan KUHAP”  menjelaskan bahwa “di dalam aturan kitab hukum masa kerajaan tersebut, dan juga hukum adat di daerah-daerah lain, terdapat berbagai acuan mengenai bentuk pemidanaan. Misalnya, apabila ada seseorang melarikan gadis, berzina, atau mencuri dan perbuatan itu tertangkap, maka orang yang terkena tindakan tersebut, menurut hukum adat, boleh menegakkan hukum. Di Minangkabau dikenal hukum adat tarikh yang mengatur soal pencurian dan perusakan barang, di Bugis dikenal hukum adat Siri terkait soal kasus aib dan pembunuhan.

Di dalam pelaksanaan hukum adat, di banyak kerajaan selama ini juga eksis atau berlaku hukum yang bersumber pada ajaran Islam. Bahkan, dapat dikatakan, pelaksanaan syariat Islam sudah semenjak dahulu berlaku meluas ke seluruh pelosok penjuru wilayah di nusantara. Aturan hukum ini telah membaur dalam lingkup kebudayaan dan adat-istiadat masyarakat. Adanya pemberlakuan hukum Islam ini pun semasa era colonial telah diakui pemerintah Hindia Belanda. Para ahli hukum Belanda pada tahun 1855-an, sempat memberlakukannya, meski kemudian sekitar beberapa puluh tahun kemudian (paruh awal abad ke-20), “politik hukum” ini kemudian dicabutnya kembali.

Usaha pengkodifikasian hukum pidana di Hindia Belanda diawali sejak disahkannya pemberlakuan  Wet Boek van Strafrecht  (KUHP Belanda) pada tahun 1886. Hal ini memberikan pengaruh pada para pejabat yang mengurusi Hindia Belanda, juga menginginkan agar kitab hukum pidana juga bisa diberlakukan di wilayahnya. Maka pada 15 Oktober 1915 lahirlah Wet Boek van Strafrecht voor Nederlansche  Indie (KUHP untuk Hindia Belanda), melalui aturan hukum yang tertian dalam Staatsblad 1915 Nomor 732. Namun, KUHP ini baru dinyatakan berlaku sampai sekarang. Di zaman merdeka ini, KUHP tersebut mengalami perubahan walaupun bersifat “minor” misalnya hanya diterjemahkan secara bebas dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia.  Dr. Priyo Budi Santoso, wakil ketua DPR, memberikan komentar terhadap pengajuan RUU KUHP ke DPR bahwa jika nantinya RUU KUHP tersebut disahkan oleh DPR maka akan menjadi karya besar bangsa Indonesia.

Seorang hakim agung di Mahkamah Agung, Salman Luthan, menyatakan bahwa keperluan adanya sebuah KUHP  yang baru sifatnya sudah mendesak. Sebab, selain terdesak kebhutuhan akan adanya sebuah “payung hukum pidana” yang komprehensif, kebutuhan akan KUHP  semakin tersa bila melihat banyaknya aturan dan sanksi pidana baru yang belum tertampung dalam “KUHP lama” warisan Belanda. Salman Luthan  berpendapat bahwa sesuai dengan perkembangan zaman memang aturan yang ada di KUHP yang kini berlaku banyak yang ketinggalan zaman. Misalnya dengan munculnya berbagai bentuk kejahatan baru, misalnya kejahatan korporasi. Selain itu, pada masa kini juga sudah muncul pola pemidanaan baru yang sudah berlaku di banyak Negara modern yakni adanya pidana kerja sosial. Melihat hal seperti itu maka saya kira adanya KUHP  baru sudah merupakan kebutuhan yang mendesak untuk direalisasikan.

Pada sisi lain, lanjut Salman Luthan, bila mengkaji isi RUU KUHP  yang kini diajukan ke DPR, maka secara filosofi juga terjadi perubahan signifikan dalam bidang filosofi pemidanaan. Bila dalam “KUHP lama” lebih mementingkan azas legalitas hukum daripada keadilan, maka dalam “RUU KUHP  baru” ini dicoba diubah. Dalam RUU KUHP ini tampak jelas bila adanya perubahan azas legalitas. Yakni, bila terjadi pertentangan antara kepentingan keadilan dan hukum, maka nantinya akan lebih dipentingkan rasa keadilannya.

Oleh sebab itu, lanjut Salman Luthan, bila nanti RUU KUHP ini bisa disahkan, hal itu merupakan sebuah titik perwujudan impian akan adanya kitab hukum pidana yang berciri Indonesia yang selama ini hanya berkelindan dalam benak para ahli hukum pidana di Indonesia. Jadi, bila nanti RUU KUHP tersebut disahkan maka hal itu merupakan sebuah perwujudan dari mimpi yang sudah sangat lama berada dalam benak kita semua.

–oOo–

Print Friendly