Hukum Perizinan (materi kuliah)
HUKUM PERIZINAN (MATERI KULIAH KELAS B DAN KELAS C)
(Remarks: For further information about this topic, please read book: Y. Sri Pudjiatmoko, “Hukum Perizinan”)
1. SYARAT SAHNYA IZIN
Pasal 53 ayat 2 Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengkategorikan izin sebagai ketetapan/keputusan tata usaha negara. Oleh sebab itu dasar pengujian mengenai keabsahan sebuah keputusan tata usaha Negara meliputi dua hal, yaitu: peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
a. Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku
Keputusan tata usaha Negara/keputusan pemerintah dikatakan sah jika sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal:
– Isinya atau substansi yang dimuat di dalamnya. Contoh: peraturan daerah menetapkan bahwa IMB yang berlaku di sebuah kabupaten harus memuat nomor pemohonan izin mendirikan bangunan gedung, nama pemohon/pemilik bangunan gedung, alamat, kegiatan yang diizinkan, fungsi bangunan gedung, jenis bangunan gedung, nama bangunan gedung, luas bangunan gedung, hak atas tanah, luas tanah, atas nama/pemilik tanah, tempat bangunan didirikan, konstruksi bangunan, jangka waktu pembangunan;
– Prosedur dan bentuk keputusan. Misalnya: peraturan daerah menetapkan bahwa permohonan izin gangguan harus dilengkapi tanda tangan perstujuan dari tetangga di sebelah utara, selatan, timur, dan barat tempat kegiatan dilakukan serta pengesahan ketua RT, RW, dan lurah setempat. ;
– Kewenangan organ pemerintah yang menetapkan keputusan. Kewenangan merupakan hal yang penting karena subjek hukum publik hanya dapat melakukan perbuatan hukum publik manakala dilengkapi dengan kewenangan.
b. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
Penjelasan pasal 53 ayat 2 huruf b Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa “asas-asas umum pemerintahan yang baik” meliputi:
– Asas kepastian hukum;
– Asas tertib penyelenggaraan Negara;
– Asas keterbukaan;
– Asas proporsionalitas;
– Asas profesionalitas;
– Asas akuntabilitas.
Undang-undang Nomot 28 Tahun 1999 pada pasal 3 menetapkan bahwa asas-asas umum penyelenggaraan Negara meliputi:
– Asas kepentingan umum. Yaitu: asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara Negara.
– Asas tertib penyelenggaraan Negara. Yaitu: asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraaan Negara.
– Asas keterbukaan. Yaitu: asas yang menghendaki adanya pemberian akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia Negara.
– Asas proporsionalitas. Yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara.
– Asas profesionalitas. Yaitu: asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
– Asas akuntabilitas. Yaitu: asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
– Asas kepentingan umum. Yaitu: mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
2. KEWENANGAN DALAM PEMBERIAN IZIN
Sumber kewenangan terdiri dari:
a. Kewenangan bersumber pada atribusi. Yaitu: kewenangan yang diberikan secara langsung oleh Undang-Undang Dasar ataupun undang-undang. Tanggungjawab ataupun tanggung gugat ada pada badan atau jabatan yang bersangkutan, bukan pada pembentuk Undang-Undang Dasar dan pembuat undang-undang.
b. Kewenangan bersumber pada delegasi. Istilah lain disebut juga dengan “penyerahan wewenang”. Kewenangan berasal dari suatu organ pemerintahan yang diserahkan kepada organ lain berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kewenangan yang bersumber pada delegasi terdapat peralihan kewenagan dari pemberi delegasi (delegans) kepada penerima delegasi (delegataris). Adanya peralihan kewenangan itu sehingga pemberi delegasi tidak dapat menggunakan wewenang itu kecuali setelah ada pencabutan dengan berdasarjab asas contraries actus.
c. Kewenangan bersumber pada mandat. Istilah lain disebut juga dengan “pelimpahan wewenang”. Tanggungjawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat (mandans) bukan pada penerima mandat (mandataris). Pihak yang dilimpahi kewenangan (mandataris) dapat menggunakan kewenangan itu, demikian pula pihak yang melimpahkan kewenangan.
Landasan suatu perbuatan hukum publik adalah kewenangan. Namun ada juga ketetapan izin ditetapkan oleh pihak yang tidak berwenang. Hal ini disebut dengan ketidakberwenangan. Ketidakberwenangan ada 3 macam, yaitu:
– Ketidakberwenangan karena materi. Yaitu: bila kewenangan pejabat tidak sesuai dengan substansi ketetapan izin.
– Ketidakberwenangan karena lokasi/wilayah. Substansi ketetapan izin merupakan wewenang pejabat yang bersangkutan tetapi secara kewilayahan hal itu berada di luar wilayah kewenangannya.
– Ketidakberwenangan yang berkaitan dengan waktu.
Selain ketidakberwenangan, dikenal juga istilah penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir). Penyalahgunaan wewenang terjadi apabila organ pemerintah yang berwenang mengeluarkan ketetapan izin, tetapi dengan tujuan yang menyimpang dari tujuan diberikannya kewenangan tersebut. Ada juga istilah “kesewenang-wenangan” yaitu organ pemerintah mengambil keputusan untuk penetapan izin tidak berdasarkan pertimbangan yang matang. Dalam pengabulan atau penolakan permohonan dapat terjadi kesewenang-wenangan.
3. PENGUJIAN TERHADAP KEABSAHAN IZIN
Keabsahan sebuah ketetapan izin membawa konsekuensi mengikat-tidaknya keputusan tersebut. Apabila sebuah keputusan yang telah dibuat ternyata tidak sah, keputusan itu tentu tidak mempunyai kekuatan mengikat. Bila izin merupakan sebuah keputusan tata usaha Negara, maka pengujiaannya dapat dilakukan pada peradilan tata usaha Negara dan peradilan umum.
- Pengujian Keabsahan Izin oleh Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 mempunyai kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara. Berdasarkan pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha Negara yang dipersengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Pengujian keabsahan penetapan izin oleh Peradilan Tata Usaha Negara dilakukan berdasarkan parameter keabsahan keputusan tata usaha Negara, yaitu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku ataupun asas-asas umum pemerintahan yang baik.
2. Pengujian Keabsahan Izin oleh Peradilan Umum
Pengujian keabsahan suatu ketetapan izin di lingkungan peradilan umum hanya sebatas izin yang dikeluarkan oleh pemerintah, sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat 3, pasal 1 ayat 4, pasal 2, pasal 3, psasal 47, dan pasal 49 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
ibu, saya minta izun download materi perizinannya.
oke, Aris.